Sabtu, 18 Maret 2017

Sengketa Pilkada Aceh “lex specialis vs lex generalis”
oleh: MAHLIL ZAKARIA, S.H.
Foto usai Mengikuti "Debat Konstitusi" antar Perguruan Tinggi Tahun 2008 di MK RI.
Polemik Dasar hukum (Regulasi) dalam Sidang Gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah yang diajukan Pasangan Cagub/Cawagub Aceh Muazakkir Manaf dan T.A.Khalid senang hangat menjadi pemberitaan media. Selain substansi hukum, ada sisi lain yang menarik yakni sosok Yusril Ihza Mahendra yang merupakan Penasehat hukum pemohon. Dengan kemampuan retorika, pengalaman serta logika hukum diatas rata-rata tentu dirinya menjadi pusat perhatiaan dalam Sidang Gugatan ini.

Namun kita kesampingkan dulu hal menarik tersebut untuk lebih fokus kepada hal yang lebih menarik lainnya, yaitu bagaimana memaknai secara menyeluruh pokok gugatan yang diajukan tersebut tentu dengan menggunakan logika hukum murni atau setidak-tidaknya memperhatikan azas-azas hukum yang lazim digunakan dalam praktek hukum.

Sudah menjadi pengetahuan publik bahwa terdapat 2 (dua) landasan hukum yang diterapkan dalam proses Pilkada Aceh yaitu UU No. 10 Tahun 2016 dan UU No. 11 Tahun 2006 atau yang lebih populer dengan sebutan UUPA. Kedua aturan hukum ini sederajat hanya yang membedakan adalah objek (Materi) dan teritori (daerah) tempat berlakunya. Beranjak dari hal tersebut, penulis mencoba menganalisa terkait dengan existensi kedua aturan hukum tersebut dengan berpedoman pada sebuah azas hukum yang cukup populer dikalangan masyarakat yaitu Lex spesialis derogat lex generalis yang mengandung makna bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum. Kemudian kita akan coba lebih mengerucut pada permasalahan diatas yang manakah kemudian yang lebih tepat untuk ditasbihkan sebagai lex specialis maupun leg generalis.
Menurut Bagir Manan dalam bukunya yang berjudul Hukum Positif Indonesia (hal. 56), sebagaimana kami kutip dari artikel yang ditulis A.A. Oka Mahendra berjudul Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas lex specialis derogat legi generalis,yaitu:   
1. Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut;
2. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang);
3. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama denganlex generalis.
Benang merahnya adalah kedua produk hukum tersebut prinsipnya adalah Lex generalis atau Undang-undang, dari sisi penyelenggaaraan Pilkada di Aceh yang bersifat khusus idealnya UUPA merupakan payung hukum tunggal terutama hal-hal yang bersentuhan dengan pilkada yang diatur khusus dalam pasal 65 s/d pasal 74. Namun Jika melihat materi yang terdapat dalam pasal-pasal tersebut dikorelasikan dengan UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada disinilah kita akan melihat substansi lex specialis yang sebenarnya. UU Pilkada mengatur dengan rinci setiap mekanisme Pemilihan serta menjadi acuan penyelanggaraan Pilkada serentak di Indonesia. Sedangkan pasal-pasal dalam UUPA mengatur secara umum serta tidak terfokus (normatif) sehingga secara logika hukum dan moralitas (kekhususan) hanya beberapa pasal saja yang tepat dan relevan untuk diterapkan seperti misalnya proses pencalonan.

Dalam konteks perselihan hasil pemilihan Pilkada Aceh “lex spesialis”nya adalah pasal 156 s/d pasal 158 UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada sedangkan dalam UUPA diatur dalam pasal 74. Jika disandingkan kedua lex (aturan) tersebut tentu secara logika hukum menurut analisa penulis pasal-pasal dalam UU Pilkada layak di sematkan sebagai “Lex specialis”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar