Sengketa
Pilkada Aceh “lex specialis vs lex generalis”
oleh: MAHLIL ZAKARIA, S.H.
Foto usai Mengikuti "Debat Konstitusi" antar Perguruan Tinggi Tahun 2008 di MK RI. |
Polemik Dasar hukum (Regulasi) dalam Sidang
Gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah yang diajukan
Pasangan Cagub/Cawagub Aceh Muazakkir Manaf dan T.A.Khalid senang hangat
menjadi pemberitaan media. Selain substansi hukum, ada sisi lain yang menarik
yakni sosok Yusril Ihza Mahendra yang merupakan Penasehat hukum pemohon. Dengan
kemampuan retorika, pengalaman serta logika hukum diatas rata-rata tentu
dirinya menjadi pusat perhatiaan dalam Sidang Gugatan ini.
Namun kita kesampingkan dulu hal menarik
tersebut untuk lebih fokus kepada hal yang lebih menarik lainnya, yaitu
bagaimana memaknai secara menyeluruh pokok gugatan yang diajukan tersebut tentu
dengan menggunakan logika hukum murni atau setidak-tidaknya memperhatikan
azas-azas hukum yang lazim digunakan dalam praktek hukum.
Sudah menjadi pengetahuan publik bahwa
terdapat 2 (dua) landasan hukum yang diterapkan dalam proses Pilkada Aceh yaitu
UU No. 10 Tahun 2016 dan UU No. 11 Tahun 2006 atau yang lebih populer dengan
sebutan UUPA. Kedua aturan hukum ini sederajat hanya yang membedakan adalah
objek (Materi) dan teritori (daerah) tempat berlakunya. Beranjak dari hal
tersebut, penulis mencoba menganalisa terkait dengan existensi kedua aturan
hukum tersebut dengan berpedoman pada sebuah azas hukum yang cukup populer
dikalangan masyarakat yaitu Lex spesialis derogat lex generalis yang mengandung makna bahwa aturan hukum yang khusus
akan mengesampingkan aturan hukum yang umum. Kemudian kita akan coba
lebih mengerucut pada permasalahan diatas yang manakah kemudian yang lebih
tepat untuk ditasbihkan sebagai lex specialis maupun leg generalis.
Menurut Bagir Manan dalam bukunya yang berjudul Hukum Positif
Indonesia (hal. 56), sebagaimana kami kutip dari
artikel yang ditulis A.A. Oka Mahendra berjudul Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan
dalam asas lex specialis derogat legi generalis,yaitu:
1. Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam
aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum
khusus tersebut;
2. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang);
3. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama denganlex generalis.
2. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang);
3. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama denganlex generalis.
Benang merahnya adalah kedua produk
hukum tersebut prinsipnya adalah Lex generalis atau Undang-undang, dari sisi
penyelenggaaraan Pilkada di Aceh yang bersifat khusus idealnya UUPA merupakan
payung hukum tunggal terutama hal-hal yang bersentuhan dengan pilkada yang
diatur khusus dalam pasal 65 s/d pasal 74. Namun Jika melihat materi yang
terdapat dalam pasal-pasal tersebut dikorelasikan dengan UU No. 10 Tahun 2016
tentang Pilkada disinilah kita akan melihat substansi lex specialis yang sebenarnya.
UU Pilkada mengatur dengan rinci setiap mekanisme Pemilihan serta menjadi acuan
penyelanggaraan Pilkada serentak di Indonesia. Sedangkan pasal-pasal dalam UUPA
mengatur secara umum serta tidak terfokus (normatif) sehingga secara logika
hukum dan moralitas (kekhususan) hanya beberapa pasal saja yang tepat dan
relevan untuk diterapkan seperti misalnya proses pencalonan.
Dalam konteks perselihan hasil pemilihan
Pilkada Aceh “lex spesialis”nya adalah pasal 156 s/d pasal 158 UU No. 10 Tahun
2016 tentang Pilkada sedangkan dalam UUPA diatur dalam pasal 74. Jika disandingkan
kedua lex (aturan) tersebut tentu secara logika hukum menurut analisa penulis
pasal-pasal dalam UU Pilkada layak di sematkan sebagai “Lex specialis”.